Tes Keperawanan: Kebodohan yang Mempermalukan Perempuan





Membaca salah satu tulisan di Kompasiana tentang tes keperawanan, seseorang memberanikan diri menulis pengalaman seorang temannya yang datang dengan jalan agak mengangkang seperti perempuan pertama kali memakai pembalut, atau seperti ada yang mengganjal di selangkangannya. Setelah ditanya, ternyata temannya telah mengikuti tes keperawanan sebagai syarat mutlak masuk sekolah semi militer. Temannya menyatakan kecewa yang mendalam bagaimana proses tes keperawanan tersebut. Caranya bukan dengan menggunakan alat-alat tertentu, melainkan hanya dengan dua jari. Dan dia tidak tahu apakah orang yang mengetes keperawanannya itu dokter atau bukan. Si pengetes keperawanan itu memasukkan dua jarinya kedalam vaginanya sambil berkata “Kalau jari saya mentok berarti masih perawan”. Lalu hasil tesnya dinyatakan sudah tidak perawan, dan otomatis tidak lulus masuk sekolah semi militer tersebut. Sangat disayangkan, padahal ia adalah perempuan yang pintar, berbadan sehat dan tegap, serta belajar keras meskipun kekurangan modal untuk sekolah.




Baru-baru ini Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Prabumulih, Sumatera Selatan, membuat rencana kebijakan yang menyiapkan semua siswi sekolah di Prabumulih untuk mengikuti tes keperawanan. Tes tersebut untuk merespons maraknya kasus siswi sekolah yang diduga melakukan praktik prostitusi. Rencana tes tersebut akan diajukan untuk APBD 2014, seperti yang dikatakan Kepala Dinas Pendidikan Kota Prabumulih. Katanya lagi, tes keperawanan supaya siswi tidak terjerumus kepada hal yang negatif.




Keperawanan: Mitos yang Diciptakan Patriarki




Saya akan memberikan ilustrasi bagaimana keperawanan adalah mitos yang diciptakan budaya patriarki untuk menundukkan tubuh perempuan. Soal keperawanan adalah soal taruhan tentang kesucian perempuan. Bila ia menikah di kemudian hari, ibarat barang yang akan dibeli laki-laki, barang yang telah dibeli tersebut perlu menunjukkan segel yang utuh. Segel yang dimaksud di sini adalah selaput dara yang terletak di vagina. Bila selaput dara perempuan dianggap sudah hilang, menandakan ia tidak perawan atau tidak suci lagi, ibarat barang yang tidak layak pakai. Kita masih ingat kasus Aceng Fikri, seorang Bupati yang menceraikan begitu saja perempuan yang baru saja ia nikahi karena dinilai sudah tidak perawan, dan menyatakan ketidakperawanan itu ibarat membeli pakaian rusak. Keperawanan adalah kepentingan dan otoritas laki-laki, sama sekali tidak ada manfaatnya untuk perempuan, atau dengan kata lain merendahkan perempuan sebagai manusia yang utuh. Tubuh perempuan bukan miliknya sendiri, tetapi ditentukan, dikendalikan dan dikontrol oleh laki-laki. Perempuan tidak diperkenankan memiliki otoritas tubuhnya sendiri. Kenyataan budaya patriarki ini juga terlihat dari bagaimana perempuan tidak punya hak menolak hubungan seksual, mengatur jarak kelahiran, menunda kelahiran, memilih kontrasepsi, menolak disunat, dll. Dalam hal seksualitas, perempuan tidak diperkenankan memiliki dan menentukan dirinya sendiri.




Keperawanan adalah mitos yang dibangun dan diyakini begitu saja selama ratusan tahun, sehingga banyak orang tidak merasa perlu untuk mengetahui faktanya. Orang cukup percaya saja dan bahkan perempuan diliputi rasa cemas sepanjang hidupnya gara-gara soal keperawanan. Kita tidak pernah merasa ingin tahu, apakah selaput dara itu benar-benar ada, dan apa gunanya untuk perempuan sendiri? Dan kita tidak pernah bertanya, mengapa keperawanan selalu harus dipersembahkan untuk laki-laki?




Keperawanan itu Mitos




Istilah keperawanan (Virgin) berasal dari bahasa Latin yaitu Virgo atau Gadis, Perawan. Istilah ini juga dimaknai sebagai sesuatu yang baru, muda (selanjutnya seperti barang yang baru saja diproduksi).




Sudah banyak sekali penelitian tentang selaput dara, apalagi dengan perkembangan teknologi saat ini. Para seksolog sudah mengidentifikasikan bahwa sebagian perempuan tidak memiliki selaput dara sejak lahir. Bahwa tidak serta merata ada selaput dara yang sobek akibat hubungan seksual.




Selaput dara memiliki berbagai macam bentuk. Ada selaput yang melingkari lubang vagina (annular hymen), ada yang ditandai dengan beberapa lubang yang terbuka (septate hymen), ada yang ditandai dengan beberapa lubang kecil dengan jumlah yang lebih banyak (cibriform hymen), serta ada yang sudah berhubungan seksual, tetapi masih menyisakan selaput dara (introitus).




Begitu pentingkah kita mengetahui berbagai bentuk selaput dara ini? Sebenarnya sama sekali tidak, karena selaput dara adalah bagian tubuh yang tidak punya fungsi (tidak berguna) sama sekali. Tetapi menjadi penting untuk meruntuhkan mitos keperawanan yang sampai saat ini masih diagung-agungkan, bahkan dijadikan sebagai kebijakan hukum di berbagai daerah sehingga membuat anak-anak perempuan harus diperiksa satu persatu keperawanannya.




Berikut adalah mitos dan fakta soal keperawanan:




Mitos: setiap perempuan dilahirkan dengan memiliki selaput dara.




Fakta: ternyata tidak. Tidak semua perempuan lahir dengan selaput dara pada vaginanya. Penelitian menunjukkan bahwa beberapa bayi perempuan lahir tanpa selaput dara.




Mitos: selaput dara bentuknya sama pada setiap perempuan, seperti selaput tipis tanpa lubang.




Fakta: salah besar. Seperti juga manusia memiliki wajah yang berbeda, demikian juga selaput dara. Selaput dara memiliki lubang atau pori yang bentuknya bervariasi. Lubang pada selaput dara dapat bertambah lebar setelah seorang perempuan mengalami menstruasi yang pertama kali.










Tes Keperawanan menjadi Aturan Hukum?




Ajaib memang setelah kita mengetahui mitos dan fakta tentang selaput dara, kemudian dijadikan aturan tes keperawanan yang diterapkan di sekolah, sebuah institusi pendidikan yang seharusnya memberikan ilmu dan pelajaran yang bermanfaat bagi murid-muridnya. Manusia muda, seharusnya dibekali ilmu yang mengajarkan tentang akal sehat dan budi pekerti. Terlihat sekali kebijakan tes keperawanan ini adalah kebijakan “tanpa ilmu”(selanjutnya disebut kebodohan) apalagi dengan alasan untuk menghentikan anak-anak perempuan terjerumus dalam prostitusi. Kebijakan ini selain akan melukai perempuan, juga merusak mandat institusi pendidikan yang memiliki tugas untuk mencerdaskan anak bangsa. Kebijakan juga seharusnya berlaku pada setiap warga negara. Tetapi tes keperawanan hanya diberlakukan pada perempuan yang dianggap “seharusnya masih gadis”, meskipun kita juga tidak perlu repot-repot menuntut tes keperjakaan, karena akan terjebak pada kebodohan yang sama.




Apakah –bila kita adalah orang tua dari anak-anak perempuan—rela anaknya diminta berjejer antri, dipanggil satu persatu, lalu diperiksa dengan cara mengangkang kemudian dimasukan dua jari di vaginanya, dan setelah itu semua murid perempuan akan berjalan agak mengangkang kesakitan seperti cerita awal di atas? Atau relakah kita membiarkan teman-teman laki-laki mereka bertanya “jadi kamu masih perawan atau tidak?”Atau bagi yang dianggap sudah tidak perawan, apa yang akan dilakukan kepada mereka? Bukankan tes keperawanan adalah mempermalukan perempuan secara massal? Bukankah anak-anak perempuan seharusnya dibekali ilmu bukan dipermalukan?


SUMBER

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

3 comments

comments
March 8, 2016 at 3:00 AM delete

setuju ,,, kalau memang udah cinta kagak usah main tes tes segala

Reply
avatar
Anonymous
March 8, 2016 at 4:00 AM delete

Nice info van,
btw,Gevan Maho,Thanks :v

Reply
avatar